TANAH KAVLING KREDIT 5 TAHUN TANPA BUNGA

TANAH KAVLING KREDIT 5 TAHUN TANPA BUNGA
TANAH KAVLING

Selasa, 06 Desember 2016

NAFKAH

A.    LATAR BELAKANG
Nafkah merupakan satu hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami terhadap istrinya. Kewajiban suami yang bersifat lahir seperti pangan, sandang, dan papan. Hal yang telah disepakati oleh ulama yaitu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi suami sebagai nafaqah adalah pangan sandang dan papan begitu juga dengan kewajiban suami yang bersifat batin seperti memimpin isteri dan anak-anaknya, menggauli isteri dengan pergaulan yang baik.[1] Masalah ini juga dijelaskan dalam firman Allah swt:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Suami wajib memberikan nafkah pada isteri sejak akad nikahnya
Sejak itu seorang suami wajib memberi nafkah kepada isterinya dan berlaku segala konsekuensinya secara spontan. isteri sudah menjadi tanggung jawab suami di dalam keluarga, termasuk juga dalam nafkah.[2] Hal ini menjadi penting untuk penulis kaji karena pada kenyataan hidup saat ini, ketika kebutuhan hidup yang semakin banyak dan relatif mahal sehingga tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi oleh suami, dan karena kebutuhan hidup yang cukup tinggi, tidak membuat istri hanya tinggal diam. Isteri juga ikut membantu suami untuk mencari nafkah dengan bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini menjadikan nafkah tidak sepenuhnya di penuhi oleh suami.
   Dalam pembahasan tentang nafkah penulis mengambil kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid sabiq. Kitab ini telah dicetak ulang oleh berbagai percetakan di Mesir, Arab Saudi, dan Libanon. Kitab ini juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Perancis, Urdu, Turki, Swawahili, dan Indonesia.[3]
Fiqh Sunnah mempunyai pengaruh yang luas di dunia Islam. Nasiruddin al-Albani, muhadis dari Suriah, memandangnya sebagai kitab terbaik dari segi sistematika penulisan dan bahasanya, meskipun ia mengkritik sebagian hadisnya. Ahli fikih Mesir, Yusuf al-Qardawi, juga mengakui keutamaan kitab ini. Menurut keterangannya, ketika bagian "salat dan bersuci" baru terbit, kitab ini telah memberikan pengaruh besar untuk menggunakan dalil-dalil Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW secara langsung. Di Indonesia kitab ini termasuk kitab sumber di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). kitab ini juga menjadi salah satu rujukan Komisi Fatwa dan Hukum MUI, Kompilasi Hukum Islam, dan para penceramah.[4]
 Penulis tertarik untuk menggunakan kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq karena kitab tersebut banyak digunakan oleh kalangan masyarakat. Dalam Fikih Sunnah tidak menyelisihi madzhab empat. Susunan isinya sangat sederhana dan menghindari pembahasan yang sangat terperinci dan mendetail, hingga tidak semua madzhab fikih dicantumkan pendapatnya, karena tujuan ditulisnya kitab tersebut untuk membantu kaum awam, agar lebih mudah memahami masalah hukum.

B.     RUMUSAN MASALAH
1)      Bagaimana konsep Sayyid Sabiq dan Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari tentang nafkah?
2)      Bagaimana persamaan dan perbedaan dalamkitab Fiqih Sunnah dan Kitab Fathul Muin?

C.    KAJIAN PUSTAKA
a.       Biografi Sayyid Sabiq
Sayyid Sabiq lahir di di Istanha, Distrik al-Bagur, Propinsi al-Munufiah, Mesir, tahun 1915. Ia adalah ulama kontemporer Mesir yang memiliki reputasi internasional di bidang fikih dan dakwah Islam, terutama melalui karyanya yang monumental, Fikih as-Sunnah (Fikih Berdasarkan Sunah Nabi).[5] Ia meninggal dunia pada hari ahad sore tanggal 21 Dzulqo’idah 1420 H, bertepatan dengan tanggal 27 Februari 2000 M pada usia mendekati 85 tahun.Nama lengkapnya adalah Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihamiy. Lahir dari pasangan keluarga terhormat, Sabiq Muhammad at-Tihamiy dan Husna Ali Azeb di desa Istanha (sekitar 60 km di utara Cairo) Mesir.[6]
b.      Riwayat pendidikan
Di Al-Azhar Cairo ia menyelesaikan seluruh pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai tingkat takhassus (kejuruan). Pada tingkat akhir ia memperoleh asy-Syahadah al-'Alimyyah (1947), ijazah tertinggi di Universitas al-Azhar ketika itu, kurang lebih sama dengan ijazah doktor.[7]
Meskipun datang dari keluarga penganut Mazhab Syafi'i, Sayyid Sabiq mengambil Mazhab Hanafi di Universitas al-Azhar. Para mahasiswa Mesir ketika itu cenderung memilih mazhab ini karena beasiswanya lebih besar dan peluang untuk menjadi pegawai pun lebih terbuka lebar. Ini merupakan pengaruh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman), penganut Mazhab Hanafi, yang de Facto menguasai Mesir hingga tahun 1914. Namun demikian, Sayyid Sabiq mempunyai kecenderungan suka membaca dan menelaah mazhab-mazhab lain.[8]
c.       Guru-gurunya
Di antara guru-gurunya adalah Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Tahir ad-Dinari, keduanya dikenal sebagai ulama besar di al-Azhar ketika itu. Ia juga belajar kepada Syekh Mahmud Khattab, pendiri al-Jam'iyyah asy-Syar'iyyah li al-'Amilin fi al-Kitab wa as-Sunnah (Perhimpunan Syariat bagi Pengamal al-Quran dan Sunah Nabi). Al-Jam'iyyah ini bertujuan mengajak umat kembali mengamalkan al-Quran dan sunah Nabi saw tanpa terikat pada mazhab tertentu.[9]
d.      Karya-karya
            Sayyid Sabiq menulis sejumlah buku yang sebagiannya beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu fiqih antara lain:
a)      As-Salah wa at-Taharah wa al-Wudu' (Salat, Bersuci, dan Berwudu),
b)      As-Siyam (Puasa),
c)      Fiqh as-Sunnah (Fikih Berdasarkan Sunah Nabi),
d)      Manasik al-Hajj wa al-'Umrah (Manasik Haji dan Umrah). [10]
e.       Teori
            Dalam pembahasan tentang nafkah penulis menggunakan teori kaidah ushul fiqh yang menetapkan wajibnya memperhitungkan seberapa besar kebutuhan dan kepentingan ketika akan menghindarkan sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian. Jika terjadi pertentangan antara kemaslahatan dan kemudharatan, maka mendahulukan atau memilih yang lebih kuat dari keduanya. Apabila maslahat yang dominan maka boleh dilakukan, akan tetapi ketika mudharat yang dominan, maka harus ditinggalkan:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح[11]
Nafkah merupakan kewajiban seorang suami untuk memenuhi kebutuhan istri. Namun, jika seorang istri membantu suami dalam mencari nafkah selama tidak ada kemudharatan bagi istri maka hal tersebut diperbolehkan.

D.    METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Kualitas sebuah penelitian hukum dapat dilihat dari benar atau tidaknya seseorang dalam meneliti. Tanpa menggunakan metode dalam meneliti, maka peneliti tidak akan mendapatkan hasil yang diinginkan. Sebab, metode penelitian merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dibangun oleh peneliti. Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih metode yang tepat agar tujuan penelitian dapat tercapai secara maksimal.
a)      Jenis penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian  normatif. Penelitian normatif menurut Soejono Soekanto dan Sri Mamuji adalah penelitian yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder.[12] Penelitian ini juga tergolong kedalam penelitian kepustakaan, karena penelitian ini cara mengakses data penelitiannya banyak diambil dari bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan nafkah.
b)      Pendekatan penelitian
Pendekatan merupakan cara pandang dalam arti luas, artinya, dalam menelaah suatu persoalan dapat dilakukan berdasarkan dengan memakai sudut pandang dari berbagai cabang ilmu, jadi pada dasarnya pendekatan adalah persoalan yang berhubungan dengan cara seseorang meninjau dan dengan cara bagaimana dia menghampiri persoalan tersebut sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya.[13]
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, diantaranya tentang perilaku,persepsi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[14]
Penelitian kualitatif ini merupakan pendekatan yang menghasilkan sebuah data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau dari orang-orang dan perilaku yang diamati yang tidak dituangkan dalam variabel atau hipotesis.
c)      Sumber data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.[15] Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, sehingga penelitian ini dinamakan dengan penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai jenis data sekunder.[16] Selain itu pada penelitian hukum normatif ini, tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis sumber data sekunder. Kemudian sumber data sekunder ini dibagi oleh peneliti menjadi:[17]
1)      Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[18] Bahan hukum primer juga merupakan suatu bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum. Literature pokok yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah kitab Fiqih Sunnah Karya Sayyid Sabiq dan Fathul Muin karya  Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari.
2)      Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku, artikel, tulisan ilmiah dan lain sebagainya yang dapat melengkapi data-data primer. 
3)      Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedia maupun kamus.
d)     Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan persoalan metodologis yang berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan data. Keputusan alat pengumpul data mana yang akan dipergunakan tergantung pada permasalahan yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau dokumentasi untuk alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.[19] Metode dokumentasi adalah peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebaginya.[20]
e)   Metode pengolahan data analisis data
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Data yang diperoleh akan diolah dengan tahap sebagai berikut:
a.       Editing
 Langkah pertama, peneliti melakukan penelitian kembali dari berbagai bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier yang berkaitan dengan nafkah tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang sedang diteliti atau belum. Selain itu untuk mengurangi kesalahan serta kekurangan bahan hukum dalam penelitian peneliti berusaha meningkatkan kualitas bahan hukum penelitian.
b.      Classifying
Langkah kedua, peneliti melakukan pengklasifikasian terhadap seluruh data-data penelitian, baik data yang berasal dari komentar peneliti sendiri dan dokumen yang berkaitan dengan tema penelitian ini,agar lebih mudah dalam melakukan pembacaan dan penelaahan data sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Hal ini dilakukan karena data penelitian tentunya sangat beragam dalam memberikan sebuah pemikiran dalam karya ilmiahnya.
c.       Verifying
Langkah ketiga, peneliti melakukan verifikasi (pengecekan ulang) terhadap data-data yang telah diperoleh dan diklasifikasi tersebut mengenai nafkah. Tujuan dari hal ini untuk mendapatkan keakurasian data yang telah terkumpul dapat diterima dan diakui kebenarannya oleh segenap pembaca.
d.      Analisis data (Analyzing)
Langkah selanjutnya yaitu analisis data untuk memperoleh kesimpulan akhir hasil penelitian ini. Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Analisis data merupakan rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.
Untuk mempermudah dalam penulisan ini, maka sangat diperlukan untuk menggunakan pendekatan-pendekatan. Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan komparasi. Komparasi digunakan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh yang penulis teliti.
Langkah-langkah dari metode komparasi adalah:[21]pertama, menulusuri permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya, dalam penelitian ini yang dijadikan objek adalah pembahasan tentang nafkah menurut Sayyid Sabiq dan As-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, bagaimana kedua tokoh tersebut memberikan penjelasan tentang nafkah. Kedua, mempertemukan dua atau lebih permasalahan yang setara tersebut, agar dapat diketahui persamaan dan perbedaannya. Ketiga, mengungkapkan ciri-ciri dan obyek yang sedang dibandingkan secara jelas dan terperinci. Keempat, menyusun atau memformulasikan teori-teori yang bisa dipertanggung jawabkan.
e.       Concluding
 Tahap yang terakhir adalah tahapan kesimpulan. Tahap ini merupakan pengambilan kesimpulan dari suatu proses penulisan yang menghasilkan suatu jawaban atas semua pertanyaan yang menjadi generalisasi yang telah dipaparkan dibagian latar belakang.

E.     PAPARAN DATA
1.      Pengertian nafkah
Dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan pengertian nafkah yaitu:
توفير ما تحتاج إليه الزوجة من طعام، ومسكن، وخدمة، ودواء، وإن كانت غنية.[22]
Sedangkan dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari menjelaskan pengertian nafkah yaitu:
الإخراج ( يجب ) المد الآتي وما عطف عليه ( لزوجة ) أو أمة ومريضة ( مكنت ) من الإستمتاع بها ومن نقلها إلى حيث شاء عند أمن الطريق والمقصد ولو بركوب بحر غلبت فيه السلامة[23]
Dalam kitab Fathul Mu’in  juga menjelaskan perincian nafkah berupa:
الطعام والادم وآلة ذلك والكسوة والفرش وآلة التنظيف أن يكون تمليكا بالدفع دون إيجاب وقبول وتملكه هي بالقبض فلا يجوز أخذه منها إلا برضاها[24]
Dalam kitab Fathul Muin Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari memberikan penjelasan lebih rinci mengenai nafkah, dalam hal pakaianpun suami harus membelikan pakaian baru setiap 6 bulan sekali. Sedangkan dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq tidak menjelaskan dengan sangat rinci, ia tidak mewajibkan pada suami untuk memberikan pakaian baru pada istri setiap 6 bulan sekali.  
2.      Dasar hukum
Dalam kitab Fiqih Sunnah menjelaskan tentang dasar hukum nafkah yaitu:
وهي واجبة بالكتاب، والسنة، والاجماع[25]
Dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 233:
فلقول الله تعالى: وعلى الولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف ولا تكلف نفس إلا وسعها
)البقرة:233)[26]
 Adapun dasar hukum dari sunnah yaitu:
وروى البخاري ومسلم عن عائشة رضي الله عنها: أن هندا بنت عتبة قالت، يا رسول الله، إن أبا سفيان رجل شحيح، وليس يعطيني وولدي إلا أن أخذت منه - وهو لا يعلم - قال: " خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف "[27]
   Dasar hukum dalam Ijma’ adalah Ibnu Qudamah berkata: para ulama telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz. Ibnu Mundir berkata: istri yang nusyuz boleh dipukul sebagai pelajaran. Istri adalah seseorang yang tertahan oleh suaminya, ia telah tertahan untuk bepergian dan bekerja. Istri yang terikat oleh suaminya maka suami wajib memberi nafkah padanya.
Dasar hukum nafkah hanya dijelaskan dalam kitab Fiqih Sunnah. sedangkan dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin bin Abdul Aziz tidak menjelaskan tentang dasar hukum nafkah. Hal ini karena perbedaan masa hidup kedua ulama tersebut yakni Zainuddin bin Abdul Aziz hidup pada zaman klasik sedangkan Sayyid Sabiq hidup pada zaman kontemporer sehingga sangat penting untuk memberikan penjelasan secara rinci dengan mencantumkan dasar hukum nafkah pada kitab Fiqih Sunnah yang belum dibahas dalam kitab Fathul Muin sebelumnya.
3.      Syarat-syarat nafkah
Menurut Sayyid Sabiq Syarat bagi perempuan berhak menerima nafkah adalah:
ويشترط لاستحقاق النفقة الشروط الاتية:
أ‌.        أن يكون عقد الزواج صحيحا.
ب‌.   أن تسلم نفسها إلى زوجها.
ت‌.      أن تمكنه من الاستمتاع بها.
ث‌.     ألا تمتنع من الانتقال حيث يريد الزوج
ج‌.       أن يكونا من أهل الاستمتاع.[28]
Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka kewajiban nafkah suami menjadi gugur. Penjelasan ini hanya dijelaskan dalam kitab Fiqih Sunnah sedangkan dalam kitab Fathul Muin tidak menjelaskan tentang syarat-syarat mendapatkan nafkah.
4.      Hal-hal yang dapat menggugurkan nafkah
Dalam Kitab Fiqih Sunnah, hal-hal yang dapat menggugurkan nafkah diantaranya:
أ‌.       إذا أسلمت المرأة نفسها إلى الزوج، وهي صغيرة لا يجامع مثلها[29]
ب‌.  إذا انتقلت الزوجة من منزل الزوجية إلى منزل آخر بغير إذن الزوج بغير وجه شرعي[30]
ت‌.  سافرت بغير إذنه[31]
ث‌.  أحرمت بالحج بغير إذنه[32]
ج‌.    إذا حبست الزوجة في جريمة، أو في دين[33]
ح‌.    لو غصبها غاصب، وحال بينها وبين زوجها، فإنها لا تستحق النفقة مدة غصبها[34]
خ‌.    الزوجة المحترفة التي تخرج لحرفتها.إذا منعها زوجها فلم تمتنع[35]
د‌.      إن منعت نفسها بصوم تطوعا أو باعتكاف تطوعا[36]
Sedangkan dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari  menyatakan bahwa secara ijma’ seluruh nafkah menjadi gugur jika istri nusyus. Istri dianggap nusyus apabila:
أ‌.       بخروجها وحدها إلى محل يجوز القصر منه للمسافر ولو لزيارة أبويها أو للحج ( بلا إذن ) منه[37].
ب‌.  ويحصل النشوز ( بمنع ) الزوجة الزوج ( من تمتع ) ولو بنحو لمس أو بموضع عينه[38]
Hal-hal yang dapat menggugurkan nafkah dalam kitab Fiqih Sunnah dan kitab Fathul Muin keduanya menjelaskan sangat rinci. Secara umum Penjelasan keduanya mempunyai kesamaan yaitu jika istri nusyus maka seluruh nafkah akan menjadi gugur.
5.      Hal-hal yang tidak dapat menggugurkan nafkah
Sayyid Sabiq menjelaskan mengenai hal-hal yang tidak dapat menggugurkan nafkah yaitu:
أ‌.       إذا سلمت الزوجة نفسها وهي مريضة مرضا يمنعها من مباشرة الزوج لها[39]
ب‌.  إذا كان الزوج عنينا، أو مجبوبا ، أو خصيا، أو مريضا مرضا يمنعه من مباشرة النساء، أو حبس في دين أو جريمة ارتكبها[40]
ت‌.  فإن كانت طلبت منه الانتقال فأيى، فمنعته من الدخول[41]
Zainuddin bin Abdul Aziz menjelaskan bahwa nafkah seorang istri tidak menjadi gugur jika ia tidak berbuat nusyus. Perbuatan yang tidak termasuk nusyus adalah:
أ‌.        إذا أشرف البيت على الإنهدام[42]
ب‌.  إذا خافت على نفسها أو مالها من فاسق أو سارق[43]
ت‌.  إذا خرجت إلى القاضي لطلب حقها منه[44]
ث‌.  خروجها لتعلم العلوم العينية أو للإستفتاء[45]
ج‌.    إذا خرجت لاكتساب نفقة إذا أعسر الزوج[46]
ح‌.    إذا خرجت على غير وجه النشوز في غيبة الزوج عن البلد بلا إذنه لزيارة أو عيادة قريب لا أجنبي أو أجنبية على الأوجه[47]
خ‌.    إن منعته عنه ( لعذر ) ككبر آلته بحيث لا تحتمله ومرض بها يضر معه الوطء وقرح في فرجها وكنحو حيض[48]
Hal-hal yang tidak dapat menggugurkan nafkah dalam kitab Fiqih Sunnah dan kitab Fathul Muin, Sayyid Sabiq dan Zainuddin bin Abdul Aziz mempunyai penjelasan yang berbeda. Hal ini karena perbedaan masa hidup keduanya yang sangat jauh. Penjelasan dalam kitab Sayyid Sabiq lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Namun, secara umum Penjelasan keduanya mempunyai kesamaan yaitu suatu perbuatan tidak dianggap nusyus jika terdapat halangan yang tidak dapat dicegah/ diluar kemampuan manusia.

F.     KESIMPULAN
Dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan pengertian nafkah yaitu kewajiban seorang suami untuk mencukupi apa yang dibutuhkan oleh istri yang berupa makanan, tempat tinggal, layanan, dan obat-obatan jika orang kaya. Sedangkan dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin bin Abdul Aziz menjelaskan tentang nafkah yaitu suami wajib mencukupi kebutuhan istri sekalipun suami sakit karena istri memungkinkan bagi suami untuk dapat menikmati dirinya dan memungkinkan bagi istri untuk berpindah bila suami bermaksud dalam perjalanan dan tempat tujuan yang aman sekalipun dengan naik kapal laut yang kemungkinan besar akan selamat. Nafkah berupa membelikan pakaian baru pada istri setiap 6 bulan sekali, makanan, lauk-pauk, alat-alatnya, pakaian, alas tidur dan alat pembersih adalah wajib menjadi milik istri dengan cara diserahkan oleh suami tanpa adanya ijab qabul. Suami tidak boleh mengambil itu semua dari istrinya kecuali atas kerelaan istri.
Diantara persamaan fiqih sunnah dan Fathul Muin adalah kedua kitab tersebut tidak menyelisihi madzhab empat. Susunan isinya sangat sederhana dan menghindari pembahasan yang sangat terperinci dan mendetail serta tidak semua madzhab fikih dicantumkan pendapatnya,. Sedangkan perbedaan kedua kitab tersebut adalah dalam kitab Fathul Muin tidak membahas tentang dasar hukum dan syarat-syarat nafkah karena kitab tersebut merupakan kitab klasik sehingga penjelasan tersebut belum dibutuhkan pada zamannya namun dalam kitab tersebut banyak membahas tentang hal-hal yang dapat menggugurkan nafkah dan hal-hal yang tidak dapat menggugurkan nafkah sedangkan dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq memberikan penjelasan berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan memberikan penjelasan secara rinci yang tidak terdapat dalam kitab Fathul Muin sebelumnya karena Fiqih Sunnah merupakan kitab modern yang telah sesuai dengan perkembangan zaman karena tujuan ditulisnya kitab tersebut untuk membantu kaum awam, agar lebih mudah memahami masalah hukum.

G.    DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, cet. ke- 3,Jakarta: Kencana Premada Media, 2006.
Hamid Abdul Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Bandung: Mizan, 2002.
http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 14 september 2016.
Aziz Abdul Dahlan, et. al, (editor),Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Sabiq Sayyid, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam,terj. Haryono S. Yusuf, Jakarta: Intermasa , 1981. 
Sabiq Sayyid, al-Aqidah al-Islamiyah, terj. Mahyuddin Syaf, "Aqidah Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1996.
Sabiq Sayyid,Fiqh al-Sunnah, Juz I, Kairo: Maktabah Dar al-Turas
Soekanto Soejono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1983.
Johan Bahder Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: CV.Mandar Maju, 2008.
Meleong Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2006.
Arikunto Suharismi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007.
Amiruddin Dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
Qomar Muljamil, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.










[1]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Kencana Premada Media, 2006), h 169.
[2] Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, (Bandung: Mizan, 2002), h 128.
[3] http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 14 september 2016.
[4]http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html. Diakses tanggal 9 November 2016.
[5] http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 14 september 2016.
[6]Abdul Aziz Dahlan, et. al, (editor),Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Jilid 5) h. 1614.
[7]Abdul Aziz Dahlan, h 1614.
[8]http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 14 september 2016.
[9]Abdul Aziz Dahlan, h 1614.
[10] http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 14 september 2016.
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet- 6 ( Jakarta: kencana, 2011), h. 430.

[12] Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1983), h. 23
[13] Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: CV.Mandar Maju, 2008), h.127
[14] Lexy J Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2006) h.6
[15] Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) h. 102
[16]Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004) h.24 
[17]Soerjono Soekanto, h.52.
[18] Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2007) h.141.
[19] Amiruddin Dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004) h.68
[20] Suharismi Arikunto, h.131.
[21] Muljamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005) h.348-349.
[22] kewajiban seorang suami untuk mencukupi apa yang dibutuhkan oleh istri yang berupa makanan, tempat tinggal, layanan, dan obat-obatan jika orang kaya.
[23]Suami wajib memberikan kecukupan terhadap istri sekalipun suami sakit karena istri memungkinkan bagi suami untuk dapat menikmati dirinya dan memungkinkan bagi istri untuk berpindah bila suami bermaksud dalam perjalanan dan tempat tujuan yang aman sekalipun dengan naik kapal laut yang kemungkinan besar akan selamat.
[24]suami wajib memberikan makanan, lauk-pauk, alat-alatnya, pakaian, alas tidur dan alat pembersih kepada  istri tanpa adanya ijab qabul. Suami tidak boleh mengambil itu semua dari istrinya kecuali atas kerelaan istri.
[25]Nafkah hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan Ijma’.
[26]Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.Al-Baqarah:233)
[27]Dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah diriwayatkan bahwa Hindun binti ‘Utbah menghadap Rasulullah saw dan mengatakan bahwa suaminya bernama Abu Sufyan orang yang kikir, tidak memberikan keperluan hidupnya dan anaknya dengan cukup kecuali dengan cara mengambil secara tanpa sepengetahuan Abu Sufyan, maka Rasulullah saw bersabda: “Ambilah (nafakah) secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”.

[28]Adanya Perkawinan yang sah, Istri bersedia menyerahkan dirinya pada suaminya, Istri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya, Istri bersedia diajak pindah tempat oleh suami jika dikehendakinya, Kedua suami istri masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami istri.
[29]Istri masih kecil/dibawah umur (menikah) dan belum layak untuk digauli (tidak mendapat nafkah sampai ia dewasa).
[30]Istri tidak berhak mendapat nafkah jika ia pindah dari rumah suami ke tempat lain tanpa izin suami
[31] bepergian tanpa izin suami
[32] melakukan ihram ibadah haji tanpa izin suami
[33] istri dipenjara karena kejahatan tindakan sewenang-wenang
[34]Istri berhubungan dengan laki-laki lain sehingga terjadi kerenggangan antara suami istri tersebut maka istri tidak berhak mendapat nafkah selama ia berhubungan dengan laki-laki lain.
[35]istri keluar untuk bekerja sedang suami melarang tetapi istri tidak menghiraukan
[36] istri tidak mau dicampuri suaminya karena sedang berpuasa sunnah atau I’tikaf sunnah
[37]Istri pergi sendiri tanpa izin suami  ketempat yang bagi musafir sudah diperbolehkan mengqashar shalat sekalipun untuk menjenguk kedua orang tuanya atau haji atau untuk keperluan suaminya.
[38]Istri menolak suami untuk menikmatinya sekalipun hanya memegang anggota tubuhnya.
[39]jika istri mempunyai penyakit keras yang menghalangi untuk berhubungan suami istri .
[40]Jika suami kasar, kemaluannya buntung atau dikebiri atau sakit berat sehingga tidak dapat menggauli istrinya atau dipenjara karena hutang atau karena suatu kejahatan.
[41]Istri pernah meminta pindah ke tempat lain tetapi suami menolak, lalu istri menolak pula untuk berhubungan suami istri.
[42]Bila rumah tempat tinggal akan runtuh
[43]Istri mengkhawatirkan diri atau hartanya dari orang fasik/pencuri
[44]istri keluar untuk menuntut hak dari suaminya
[45] keluarnya untuk menuntut ilmu-ilmu fardhu ‘ain
[46] istri keluar untuk bekerja mencari nafkah jika suami miskin.
[47] Istri keluar tanpa izin suami bukan dalam sikap nusyus untuk ziarah atau menjenguk kerabat bukan orang asing
[48]Istri menolak ajakan suami karena adanya udzur, misalnya alat kelamin suami terlalu besar sehingga istri tidak sanggup menerimanya, istri sedang sakit yang membawa mudharat bila brsetubuh atau istri sedang haid.