A.
LATAR BELAKANG
Nafkah
merupakan satu hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami terhadap istrinya.
Kewajiban suami yang bersifat lahir seperti pangan, sandang, dan papan. Hal
yang telah disepakati oleh ulama yaitu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi
suami sebagai nafaqah adalah pangan sandang dan papan begitu juga dengan
kewajiban suami yang bersifat batin seperti memimpin isteri dan anak-anaknya,
menggauli isteri dengan pergaulan yang baik.[1] Masalah
ini juga dijelaskan dalam firman Allah swt:
وعلى المولود
له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Suami wajib
memberikan nafkah pada isteri sejak akad nikahnya
Sejak itu seorang suami wajib memberi nafkah
kepada isterinya dan
berlaku segala konsekuensinya secara spontan. isteri sudah menjadi tanggung
jawab suami di dalam keluarga, termasuk juga dalam nafkah.[2] Hal ini menjadi penting untuk penulis kaji karena pada kenyataan hidup
saat ini, ketika kebutuhan hidup yang semakin banyak dan relatif mahal sehingga
tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi oleh suami, dan karena kebutuhan hidup yang
cukup tinggi, tidak membuat istri hanya tinggal diam. Isteri juga ikut membantu
suami untuk mencari nafkah dengan bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga. Hal
ini menjadikan nafkah tidak sepenuhnya di penuhi oleh suami.
Dalam pembahasan tentang nafkah penulis
mengambil kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid sabiq. Kitab ini telah dicetak ulang oleh
berbagai percetakan di Mesir, Arab Saudi, dan Libanon. Kitab ini juga sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Perancis, Urdu, Turki,
Swawahili, dan Indonesia.[3]
Fiqh Sunnah mempunyai pengaruh yang luas di dunia Islam.
Nasiruddin al-Albani, muhadis dari Suriah, memandangnya sebagai kitab terbaik
dari segi sistematika penulisan dan bahasanya, meskipun ia mengkritik sebagian
hadisnya. Ahli fikih Mesir, Yusuf al-Qardawi, juga mengakui keutamaan kitab
ini. Menurut keterangannya, ketika bagian "salat dan bersuci" baru
terbit, kitab ini telah memberikan pengaruh besar untuk menggunakan dalil-dalil
Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW secara langsung. Di Indonesia kitab ini termasuk
kitab sumber di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta (PTAIS). kitab ini juga menjadi salah satu rujukan Komisi Fatwa
dan Hukum MUI, Kompilasi Hukum Islam, dan para penceramah.[4]
Penulis
tertarik untuk menggunakan kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq karena kitab
tersebut banyak digunakan oleh kalangan masyarakat. Dalam Fikih Sunnah tidak menyelisihi madzhab empat. Susunan isinya sangat
sederhana dan menghindari pembahasan yang sangat terperinci dan mendetail,
hingga tidak semua madzhab fikih dicantumkan pendapatnya, karena tujuan
ditulisnya kitab tersebut untuk membantu kaum awam, agar lebih mudah memahami
masalah hukum.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1)
Bagaimana
konsep Sayyid Sabiq dan Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari tentang nafkah?
2)
Bagaimana
persamaan dan perbedaan dalamkitab Fiqih Sunnah dan Kitab Fathul Muin?
C.
KAJIAN
PUSTAKA
a.
Biografi
Sayyid Sabiq
Sayyid Sabiq lahir di di Istanha,
Distrik al-Bagur, Propinsi al-Munufiah, Mesir, tahun 1915. Ia adalah ulama
kontemporer Mesir yang memiliki reputasi internasional di bidang fikih dan
dakwah Islam, terutama melalui karyanya yang monumental, Fikih as-Sunnah (Fikih
Berdasarkan Sunah Nabi).[5]
Ia meninggal dunia pada hari ahad sore tanggal 21 Dzulqo’idah 1420 H,
bertepatan dengan tanggal 27 Februari 2000 M pada usia mendekati 85 tahun.Nama
lengkapnya adalah Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihamiy. Lahir dari pasangan
keluarga terhormat, Sabiq Muhammad at-Tihamiy dan Husna Ali Azeb di desa
Istanha (sekitar 60 km di utara Cairo) Mesir.[6]
b.
Riwayat pendidikan
Di Al-Azhar Cairo ia menyelesaikan
seluruh pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai tingkat takhassus
(kejuruan). Pada tingkat akhir ia memperoleh asy-Syahadah al-'Alimyyah (1947),
ijazah tertinggi di Universitas al-Azhar ketika itu, kurang lebih sama dengan
ijazah doktor.[7]
Meskipun datang dari keluarga
penganut Mazhab Syafi'i, Sayyid Sabiq mengambil Mazhab Hanafi di Universitas
al-Azhar. Para mahasiswa Mesir ketika itu cenderung memilih mazhab ini karena
beasiswanya lebih besar dan peluang untuk menjadi pegawai pun lebih terbuka
lebar. Ini merupakan pengaruh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman), penganut Mazhab
Hanafi, yang de Facto menguasai Mesir hingga tahun 1914. Namun
demikian, Sayyid Sabiq mempunyai kecenderungan suka membaca dan menelaah
mazhab-mazhab lain.[8]
c.
Guru-gurunya
Di antara guru-gurunya adalah Syekh
Mahmud Syaltut dan Syekh Tahir ad-Dinari, keduanya dikenal sebagai ulama besar
di al-Azhar ketika itu. Ia juga belajar kepada Syekh Mahmud Khattab, pendiri
al-Jam'iyyah asy-Syar'iyyah li al-'Amilin fi al-Kitab wa as-Sunnah (Perhimpunan
Syariat bagi Pengamal al-Quran dan Sunah Nabi). Al-Jam'iyyah ini bertujuan
mengajak umat kembali mengamalkan al-Quran dan sunah Nabi saw tanpa terikat
pada mazhab tertentu.[9]
d.
Karya-karya
Sayyid
Sabiq menulis sejumlah buku yang sebagiannya beredar di dunia Islam, termasuk
di Indonesia, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu fiqih antara lain:
a) As-Salah wa at-Taharah wa al-Wudu'
(Salat, Bersuci, dan Berwudu),
b) As-Siyam (Puasa),
c) Fiqh as-Sunnah (Fikih Berdasarkan
Sunah Nabi),
e. Teori
Dalam
pembahasan tentang nafkah penulis menggunakan teori kaidah ushul fiqh yang menetapkan
wajibnya memperhitungkan seberapa besar kebutuhan dan kepentingan ketika akan
menghindarkan sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian. Jika terjadi
pertentangan antara kemaslahatan dan kemudharatan, maka mendahulukan atau memilih
yang lebih kuat dari keduanya. Apabila maslahat yang dominan maka boleh
dilakukan, akan tetapi ketika mudharat yang dominan, maka harus ditinggalkan:
Nafkah merupakan kewajiban seorang suami untuk
memenuhi kebutuhan istri. Namun, jika seorang istri membantu suami dalam
mencari nafkah selama tidak ada kemudharatan bagi istri maka hal tersebut
diperbolehkan.
D. METODE
PENELITIAN
Metode
penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian.
Kualitas sebuah penelitian hukum dapat dilihat dari benar atau tidaknya
seseorang dalam meneliti. Tanpa menggunakan metode dalam meneliti, maka
peneliti tidak akan mendapatkan hasil yang diinginkan. Sebab, metode penelitian
merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dibangun
oleh peneliti. Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan
memilih metode yang tepat agar tujuan penelitian dapat tercapai secara
maksimal.
a)
Jenis
penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis
penelitian normatif. Penelitian normatif
menurut Soejono Soekanto dan Sri Mamuji adalah penelitian yang diteliti hanya
bahan pustaka atau data sekunder.[12]
Penelitian ini juga tergolong kedalam penelitian kepustakaan, karena penelitian
ini cara mengakses data penelitiannya banyak diambil dari bahan-bahan pustaka
yang berkaitan dengan nafkah.
b)
Pendekatan
penelitian
Pendekatan merupakan cara pandang dalam arti luas, artinya, dalam
menelaah suatu persoalan dapat dilakukan berdasarkan dengan memakai sudut
pandang dari berbagai cabang ilmu, jadi pada dasarnya pendekatan adalah
persoalan yang berhubungan dengan cara seseorang meninjau dan dengan cara
bagaimana dia menghampiri persoalan tersebut sesuai dengan disiplin ilmu yang
dimilikinya.[13]
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek
penelitian, diantaranya tentang perilaku,persepsi, tindakan, secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[14]
Penelitian kualitatif ini merupakan pendekatan yang menghasilkan
sebuah data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau dari orang-orang dan
perilaku yang diamati yang tidak dituangkan dalam variabel atau hipotesis.
c)
Sumber
data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek
dari mana data dapat diperoleh.[15]
Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, sehingga
penelitian ini dinamakan dengan penelitian hukum normatif. Pada penelitian
hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian
digolongkan sebagai jenis data sekunder.[16]
Selain itu pada penelitian hukum normatif ini, tidak diperlukan penyusunan atau
perumusan hipotesa. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis sumber
data sekunder. Kemudian sumber data sekunder ini dibagi oleh peneliti menjadi:[17]
1)
Bahan
hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai
otoritas.[18]
Bahan hukum primer juga merupakan suatu bahan hukum yang mengikat atau yang
membuat orang taat pada hukum. Literature pokok yang menjadi acuan dalam
penelitian ini adalah kitab Fiqih Sunnah Karya Sayyid Sabiq dan Fathul Muin
karya Zainuddin bin Abdul Aziz
Al-Malibari.
2)
Bahan
hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa
buku, artikel, tulisan ilmiah dan lain sebagainya yang dapat melengkapi
data-data primer.
3)
Bahan
hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedia maupun kamus.
d)
Metode
pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan persoalan metodologis yang
berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan data. Keputusan alat pengumpul data
mana yang akan dipergunakan tergantung pada permasalahan yang akan diamati.
Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka peneliti
memilih untuk menggunakan studi dokumen atau dokumentasi untuk alat pengumpul
datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum.
Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.[19]
Metode dokumentasi adalah peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti
buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian
dan sebaginya.[20]
e)
Metode
pengolahan data analisis data
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis
datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja,
yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak
bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Data yang diperoleh akan diolah dengan tahap sebagai berikut:
a.
Editing
Langkah pertama, peneliti melakukan penelitian kembali dari
berbagai bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum tersier yang berkaitan dengan nafkah tersebut sudah
mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang sedang diteliti atau belum. Selain
itu untuk mengurangi kesalahan serta kekurangan bahan hukum dalam penelitian
peneliti berusaha meningkatkan kualitas bahan hukum penelitian.
b.
Classifying
Langkah kedua, peneliti melakukan pengklasifikasian terhadap seluruh
data-data penelitian, baik data yang berasal dari komentar peneliti sendiri dan
dokumen yang berkaitan dengan tema penelitian ini,agar lebih mudah dalam
melakukan pembacaan dan penelaahan data sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan. Hal ini dilakukan karena data penelitian tentunya sangat beragam
dalam memberikan sebuah pemikiran dalam karya ilmiahnya.
c.
Verifying
Langkah ketiga, peneliti melakukan verifikasi (pengecekan ulang)
terhadap data-data yang telah diperoleh dan diklasifikasi tersebut mengenai nafkah.
Tujuan dari hal ini untuk mendapatkan keakurasian data yang telah terkumpul
dapat diterima dan diakui kebenarannya oleh segenap pembaca.
d.
Analisis
data (Analyzing)
Langkah selanjutnya yaitu analisis data untuk memperoleh kesimpulan
akhir hasil penelitian ini. Analisis data adalah proses penyusunan data agar
data tersebut dapat ditafsirkan. Analisis data merupakan rangkaian kegiatan
penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar
sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.
Untuk mempermudah dalam penulisan ini, maka sangat diperlukan untuk
menggunakan pendekatan-pendekatan. Dalam hal ini peneliti menggunakan
pendekatan komparasi. Komparasi digunakan untuk membandingkan persamaan dan
perbedaan pemikiran kedua tokoh yang penulis teliti.
Langkah-langkah dari metode komparasi adalah:[21]pertama,
menulusuri permasalahan yang setara tingkat dan jenisnya, dalam penelitian ini
yang dijadikan objek adalah pembahasan tentang nafkah menurut Sayyid Sabiq dan
As-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, bagaimana kedua tokoh tersebut
memberikan penjelasan tentang nafkah. Kedua, mempertemukan dua atau
lebih permasalahan yang setara tersebut, agar dapat diketahui persamaan dan
perbedaannya. Ketiga, mengungkapkan ciri-ciri dan obyek yang sedang
dibandingkan secara jelas dan terperinci. Keempat, menyusun atau
memformulasikan teori-teori yang bisa dipertanggung jawabkan.
e.
Concluding
Tahap yang terakhir adalah tahapan kesimpulan. Tahap ini merupakan
pengambilan kesimpulan dari suatu proses penulisan yang menghasilkan suatu
jawaban atas semua pertanyaan yang menjadi generalisasi yang telah dipaparkan
dibagian latar belakang.
E.
PAPARAN
DATA
1.
Pengertian
nafkah
Dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan pengertian nafkah
yaitu:
Sedangkan
dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari menjelaskan
pengertian nafkah yaitu:
الإخراج ( يجب ) المد
الآتي وما عطف عليه ( لزوجة ) أو أمة ومريضة ( مكنت ) من الإستمتاع بها ومن نقلها
إلى حيث شاء عند أمن الطريق والمقصد ولو بركوب بحر غلبت فيه السلامة[23]
Dalam
kitab Fathul Mu’in juga menjelaskan
perincian nafkah berupa:
الطعام
والادم وآلة ذلك والكسوة والفرش وآلة التنظيف أن يكون تمليكا بالدفع دون إيجاب
وقبول وتملكه هي بالقبض فلا يجوز أخذه منها إلا برضاها[24]
Dalam kitab Fathul Muin Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari memberikan
penjelasan lebih rinci mengenai nafkah, dalam hal pakaianpun suami harus
membelikan pakaian baru setiap 6 bulan sekali. Sedangkan dalam kitab Fiqih
Sunnah, Sayyid Sabiq tidak menjelaskan dengan sangat rinci, ia tidak mewajibkan
pada suami untuk memberikan pakaian baru pada istri setiap 6 bulan sekali.
2.
Dasar
hukum
Dalam kitab
Fiqih Sunnah menjelaskan tentang dasar hukum nafkah yaitu:
Dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surat
Al-Baqarah ayat 233:
فلقول
الله تعالى: وعلى الولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف ولا تكلف نفس إلا
وسعها
Adapun
dasar hukum dari sunnah yaitu:
وروى البخاري
ومسلم عن عائشة رضي الله عنها: أن هندا بنت عتبة قالت، يا رسول الله، إن أبا سفيان
رجل شحيح، وليس يعطيني وولدي إلا أن أخذت منه - وهو لا يعلم - قال: " خذي ما
يكفيك وولدك بالمعروف "[27]
Dasar hukum dalam Ijma’ adalah Ibnu Qudamah
berkata: para ulama telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para
isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali
isteri yang nusyuz. Ibnu Mundir berkata: istri yang nusyuz boleh dipukul
sebagai pelajaran. Istri adalah seseorang yang tertahan oleh suaminya, ia telah
tertahan untuk bepergian dan bekerja. Istri yang terikat oleh suaminya maka
suami wajib memberi nafkah padanya.
Dasar
hukum nafkah hanya dijelaskan dalam kitab Fiqih Sunnah. sedangkan dalam kitab
Fathul Muin, Zainuddin bin
Abdul Aziz
tidak menjelaskan tentang dasar hukum nafkah. Hal ini karena perbedaan masa
hidup kedua ulama tersebut yakni Zainuddin
bin Abdul Aziz
hidup pada zaman klasik sedangkan Sayyid Sabiq hidup pada zaman kontemporer
sehingga sangat penting untuk memberikan penjelasan secara rinci dengan
mencantumkan dasar hukum nafkah pada kitab Fiqih Sunnah yang belum dibahas
dalam kitab Fathul Muin sebelumnya.
3.
Syarat-syarat
nafkah
Menurut Sayyid Sabiq Syarat bagi perempuan berhak menerima nafkah
adalah:
ويشترط لاستحقاق
النفقة الشروط الاتية:
أ.
أن
يكون عقد الزواج صحيحا.
ب. أن تسلم نفسها إلى زوجها.
ت. أن تمكنه من الاستمتاع بها.
ث.
ألا تمتنع من الانتقال حيث يريد الزوج
Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka kewajiban
nafkah suami menjadi gugur. Penjelasan ini hanya dijelaskan dalam kitab Fiqih
Sunnah sedangkan dalam kitab Fathul Muin tidak menjelaskan tentang
syarat-syarat mendapatkan nafkah.
4.
Hal-hal
yang dapat menggugurkan nafkah
Dalam Kitab
Fiqih Sunnah, hal-hal yang dapat menggugurkan nafkah diantaranya:
Sedangkan dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin bin Abdul Aziz
Al-Malibari menyatakan bahwa secara
ijma’ seluruh nafkah menjadi gugur jika istri nusyus. Istri dianggap nusyus
apabila:
Hal-hal yang
dapat menggugurkan nafkah dalam kitab Fiqih Sunnah dan kitab Fathul Muin keduanya
menjelaskan sangat rinci. Secara umum Penjelasan keduanya mempunyai kesamaan
yaitu jika istri nusyus maka seluruh nafkah akan menjadi gugur.
5.
Hal-hal
yang tidak dapat menggugurkan nafkah
Sayyid Sabiq
menjelaskan mengenai hal-hal yang tidak dapat menggugurkan nafkah yaitu:
ب. إذا
كان الزوج عنينا، أو مجبوبا ، أو خصيا، أو مريضا مرضا يمنعه من مباشرة النساء، أو
حبس في دين أو جريمة ارتكبها[40]
Zainuddin bin
Abdul Aziz menjelaskan bahwa nafkah seorang istri tidak menjadi gugur jika ia
tidak berbuat nusyus. Perbuatan yang tidak termasuk nusyus adalah:
ح.
إذا خرجت على غير وجه النشوز في غيبة الزوج عن البلد بلا إذنه لزيارة
أو عيادة قريب لا أجنبي أو أجنبية على الأوجه[47]
خ.
إن منعته عنه ( لعذر ) ككبر آلته بحيث لا تحتمله ومرض بها يضر معه
الوطء وقرح في فرجها وكنحو حيض[48]
Hal-hal yang tidak
dapat menggugurkan nafkah dalam kitab Fiqih Sunnah dan kitab Fathul Muin, Sayyid
Sabiq dan Zainuddin bin Abdul Aziz mempunyai penjelasan yang berbeda. Hal ini
karena perbedaan masa hidup keduanya yang sangat jauh. Penjelasan dalam kitab
Sayyid Sabiq lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Namun, secara umum Penjelasan
keduanya mempunyai kesamaan yaitu suatu perbuatan tidak dianggap nusyus jika terdapat
halangan yang tidak dapat dicegah/ diluar kemampuan manusia.
F.
KESIMPULAN
Dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan pengertian
nafkah yaitu kewajiban seorang suami untuk mencukupi apa yang dibutuhkan oleh
istri yang berupa makanan, tempat tinggal, layanan, dan obat-obatan jika orang
kaya. Sedangkan dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin bin Abdul Aziz menjelaskan tentang
nafkah yaitu suami wajib mencukupi kebutuhan istri sekalipun suami sakit karena
istri memungkinkan bagi suami untuk dapat menikmati dirinya dan memungkinkan
bagi istri untuk berpindah bila suami bermaksud dalam perjalanan dan tempat
tujuan yang aman sekalipun dengan naik kapal laut yang kemungkinan besar akan
selamat. Nafkah berupa membelikan pakaian baru pada istri setiap 6 bulan
sekali, makanan, lauk-pauk, alat-alatnya, pakaian, alas tidur dan alat pembersih
adalah wajib menjadi milik istri dengan cara diserahkan oleh suami tanpa adanya
ijab qabul. Suami tidak boleh mengambil itu semua dari istrinya kecuali atas
kerelaan istri.
Diantara
persamaan fiqih sunnah dan Fathul Muin adalah kedua kitab tersebut tidak
menyelisihi madzhab empat. Susunan isinya sangat sederhana dan menghindari
pembahasan yang sangat terperinci dan mendetail serta tidak semua madzhab fikih
dicantumkan pendapatnya,. Sedangkan perbedaan kedua kitab tersebut adalah dalam
kitab Fathul Muin tidak membahas tentang dasar hukum dan syarat-syarat nafkah
karena kitab tersebut merupakan kitab klasik sehingga penjelasan tersebut belum
dibutuhkan pada zamannya namun dalam kitab tersebut banyak membahas tentang hal-hal
yang dapat menggugurkan nafkah dan hal-hal yang tidak dapat menggugurkan nafkah
sedangkan dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq memberikan penjelasan
berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan memberikan penjelasan secara rinci yang
tidak terdapat dalam kitab Fathul Muin sebelumnya karena Fiqih Sunnah merupakan
kitab modern yang telah sesuai dengan perkembangan zaman karena tujuan
ditulisnya kitab tersebut untuk membantu kaum awam, agar lebih mudah memahami
masalah hukum.
G.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin
Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, cet. ke- 3,Jakarta: Kencana Premada Media, 2006.
Hamid
Abdul Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Bandung:
Mizan, 2002.
http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq
html, diakses tanggal 14 september 2016.
Aziz
Abdul Dahlan, et. al, (editor),Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Sabiq
Sayyid, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam,terj. Haryono S. Yusuf,
Jakarta: Intermasa , 1981.
Sabiq Sayyid, al-Aqidah
al-Islamiyah, terj. Mahyuddin Syaf, "Aqidah Islam, Bandung: CV.
Diponegoro, 1996.
Sabiq Sayyid,Fiqh
al-Sunnah, Juz I, Kairo: Maktabah Dar al-Turas
Soekanto
Soejono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada, 1983.
Johan Bahder
Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: CV.Mandar Maju, 2008.
Meleong Lexy J,
Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2006.
Arikunto
Suharismi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002.
Mahmud Peter, Penelitian
Hukum, Jakarta: Kencana, 2007.
Amiruddin Dan
Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada, 2004.
Qomar Muljamil,
Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Kritik,
Jakarta: Erlangga, 2005.
[1]Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, cet. ke-3 (Jakarta: Kencana Premada Media, 2006),
h 169.
[2] Abdul Hamid
Kisyik, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, (Bandung: Mizan,
2002), h 128.
[4]http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq
html. Diakses tanggal 9 November 2016.
[6]Abdul Aziz Dahlan, et. al, (editor),Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Jilid 5) h. 1614.
[8]http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq
html, diakses tanggal 14 september 2016.
[12]
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (
Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 1983), h. 23
[15] Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) h. 102
[16]Soerjono
Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004) h.24
[19] Amiruddin Dan Zainal Asikin, Pengantar
Metode Penelitian Hukum (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004) h.68
[21] Muljamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode
Rasional Hingga Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005) h.348-349.
[22] kewajiban seorang suami untuk mencukupi apa yang dibutuhkan oleh
istri yang berupa makanan, tempat tinggal, layanan, dan obat-obatan jika orang
kaya.
[23]Suami
wajib memberikan kecukupan terhadap istri sekalipun suami sakit karena istri
memungkinkan bagi suami untuk dapat menikmati dirinya dan memungkinkan bagi
istri untuk berpindah bila suami bermaksud dalam perjalanan dan tempat tujuan
yang aman sekalipun dengan naik kapal laut yang kemungkinan besar akan selamat.
[24]suami
wajib memberikan makanan, lauk-pauk, alat-alatnya, pakaian, alas tidur dan alat
pembersih kepada istri tanpa adanya ijab
qabul. Suami tidak boleh mengambil itu semua dari istrinya kecuali atas
kerelaan istri.
[26]Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.Al-Baqarah:233)
[27]Dalam hadis
riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah diriwayatkan bahwa Hindun binti
‘Utbah menghadap Rasulullah saw dan mengatakan bahwa suaminya bernama Abu
Sufyan orang yang kikir, tidak memberikan keperluan hidupnya dan anaknya dengan
cukup kecuali dengan cara mengambil secara tanpa sepengetahuan Abu Sufyan, maka
Rasulullah saw bersabda: “Ambilah (nafakah) secukupnya untukmu dan anakmu
dengan cara yang ma’ruf”.
[28]Adanya Perkawinan yang sah, Istri bersedia menyerahkan dirinya pada
suaminya, Istri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya, Istri bersedia
diajak pindah tempat oleh suami jika dikehendakinya, Kedua
suami istri masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami istri.
[29]Istri masih kecil/dibawah umur (menikah) dan belum layak untuk
digauli (tidak mendapat nafkah sampai ia dewasa).
[30]Istri tidak berhak mendapat nafkah jika ia pindah dari rumah suami
ke tempat lain tanpa izin suami
[34]Istri berhubungan dengan laki-laki lain sehingga terjadi
kerenggangan antara suami istri tersebut maka istri tidak berhak mendapat
nafkah selama ia berhubungan dengan laki-laki lain.
[37]Istri
pergi sendiri tanpa izin suami ketempat
yang bagi musafir sudah diperbolehkan mengqashar shalat sekalipun untuk
menjenguk kedua orang tuanya atau haji atau untuk keperluan suaminya.
[40]Jika suami kasar, kemaluannya buntung atau dikebiri atau sakit berat
sehingga tidak dapat menggauli istrinya atau dipenjara karena hutang atau
karena suatu kejahatan.
[41]Istri pernah meminta pindah ke tempat lain tetapi suami menolak, lalu istri menolak
pula untuk berhubungan suami istri.
[44]istri
keluar untuk menuntut hak dari suaminya
[45]
keluarnya untuk menuntut ilmu-ilmu fardhu ‘ain
[46] istri keluar untuk bekerja mencari nafkah jika suami miskin.
[47]
Istri keluar tanpa izin suami bukan dalam sikap nusyus untuk ziarah atau
menjenguk kerabat bukan orang asing
[48]Istri menolak ajakan suami karena adanya udzur, misalnya alat
kelamin suami terlalu besar sehingga istri tidak sanggup menerimanya, istri
sedang sakit yang membawa mudharat bila brsetubuh atau istri sedang haid.